ANAK-ANAK
PENYEMIR SEPATU
Oleh : Depri Bustomi
Aku
duduk di pelataran masjid setelah shalat dzuhur, istirahat sejenak
menghilangkan ketegangan selama di kantor tadi, ku perhatikan wajah-wajah yang
tadinya nampak suntuk kembali segar setelah semua harapan dan keinginan
dicurahkan kepada sang pemilik kehidupan.
Kuperhatikan disekitar banyak
tukang dagangan kembali menjajal dagangannya berharap rizki di bumi
Tuhan tak terkecuali bagi anak-anak yang menawarkan jasanya; di kota ini banyak
orang-orang yang mengkotak-kotakan diri, berlabel berbeda dengan orang biasa
mereka merasa tinggi dan sombong, yang miskin dilarang untuk bermimpi karena
kehidupan mereka berbeda dengan kehidupan orang yang berlabel yang punya
segalanya untuk mereka beli, yang miskin dilarang sakit sedangkan yang kaya
boleh sakit, yang miskin dilarang maling sedangkan yang kaya boleh korupsi,
apakah ini namanya keadilan? Yah, inilah kehidupan yang penuh
diskriminasi,banyak para orang tua yang tak mampu menyekolahkan anaknya, bahkan
untuk sesuap nasi pun mereka berani mempertaruhkan nyawanya.
Apakah ini hukum kehidupan yang
tercipta di kota ataukah manusia di kota yang menciptakannya? Entahlah,
terkadang hukum yang dibuat tak memihak kepada mereka orang-orang kecil
melainkan untuk mensejahterakan orang-orang yang memiliki kapital tak dapat
dipungkiri inilah kenyataannya;
Sontak aku
terkejut dari lamunan ku
“kak, semir
sepatu kak?” ujar seorang anak yang menawarkan jasa semir sepatu memusnahkan
lamunan ku
“iya, boleh dek”
jawab ku terkejut , dengan sigapnya ia menggapai sepatu di kaki tapi
kutahan
“ biar kakak
lepas sendiri dek” ujar ku, dengan senyuman ia memandang ku;
Kulihat tangan
mungilnyayang begitu lincah menyemir sepatu sepertinya ia sudah terbiasa dengan
dengan pekerjaan ini.
“Adek, siapa
namanya?” cetus ku memecahkan keheningan diantara kami
“Bagas kak”
jawabnya ,
“bagas sekolah
kelas berapa?” tanya ku,
“ aku gak
sekolah kak” jawab bagas,
“kenapa bagas
gak sekolah?” tanya ku dengan penuh keingin tahuan,
“gak punya biaya
kak” jawabnya,
“bukankah
sekolah negeri dari 1 SD sampai 12 SMA digratiskan!”sanggah ku, bagas memandang
ku dengan senyuman
“Iya sih kak,
tapi buat beli pakaian,tas, baju, dan buku gak ada uang” jawabnya dengan polos,
Kembali
kutanyakan pada bagas dengan sopan
“ kalau kakak boleh tahu orang tua bagas kerja
apa?” Entah apa yang terjadi tak ada badai wajah bagas berubah menjadi murung
memandang kearah lantai merasa rendah diri
“orang tua ku di
surga kak, aku tinggal di tempat nenek” jawabnya sedikit tersendat,
Mendengar
jawaban dari bagas hati ku begitu tersayat air mata terasa mengalir menuju
kelopak namun masih dapat ku tahan. Lirih ku di dalam hati “ ya, Allah anak
sekecil ini harus menanggung beban yang begitu berat, andai hamba berada di
posisinya rasanya hamba tak sanggup”
Suasana kembali
hening seakan mulut ini tak dapat lagi berkata-kata setelah mendengar jawaban
dari bagas, sepuluh menit berlalu bagas akhirnya menyelesaikan semir sepatu ku.
“ini kak
sepatunya” ujar bagas sembari menyodorkan sepatu yang telah ia semir. Tanpa
berkata-kata langsung kuselipkan sejumlah uang untuk anak yang malang ini,
memang tak seberapa besar tapi setidaknya itu bermanfaat baginya hari ini
walaupun sekedar untuk makan,
“ terima kasih
kak” ujar bagas penuh dengan rasa gembira, kubalas dengan senyuman dan aku pun
berlalu menuju kantor.
Inilah
kenyataan yang harus ku lihat kehidupan
di kota teramat berat bagi anak sekecil itu teruslah berjuang bagas dan
yang lainya kalian adalah anak-anak yang luar biasa teruslah tumbuh meski dalam
keadaan formal nampak gagal, teruslah bermimpi jangan pernah putus asa karena
Allah bersama-sama orang yang sabar.
Kehidupan ini mungkin dapat menyobek
kulit dan bahkan mematahkan tulang kalian tapi semua itu tidak membuat kalian
gemetar menghadapi dunia ini walaupun bahu mungil kalian tak mampu memikulnya, semoga
mereka yang disana dapat melihat keadaan kalian bukan tertidur pulas disaat
kalian gelisah karena kelaparan, bukan pula bernyanyi ria di istana disaat
kalian menangis, dan bukan pula menutup mata dan telinga.