Rabu, 28 Agustus 2013

cerpen

ANAK-ANAK PENYEMIR SEPATU
Oleh : Depri Bustomi
            Aku duduk di pelataran masjid setelah shalat dzuhur, istirahat sejenak menghilangkan ketegangan selama di kantor tadi, ku perhatikan wajah-wajah yang tadinya nampak suntuk kembali segar setelah semua harapan dan keinginan dicurahkan kepada sang pemilik kehidupan.
            Kuperhatikan disekitar  banyak  tukang dagangan kembali menjajal dagangannya berharap rizki di bumi Tuhan tak terkecuali bagi anak-anak yang menawarkan jasanya; di kota ini banyak orang-orang yang mengkotak-kotakan diri, berlabel berbeda dengan orang biasa mereka merasa tinggi dan sombong, yang miskin dilarang untuk bermimpi karena kehidupan mereka berbeda dengan kehidupan orang yang berlabel yang punya segalanya untuk mereka beli, yang miskin dilarang sakit sedangkan yang kaya boleh sakit, yang miskin dilarang maling sedangkan yang kaya boleh korupsi, apakah ini namanya keadilan? Yah, inilah kehidupan yang penuh diskriminasi,banyak para orang tua yang tak mampu menyekolahkan anaknya, bahkan untuk sesuap nasi pun mereka berani mempertaruhkan nyawanya.
            Apakah ini hukum kehidupan yang tercipta di kota ataukah manusia di kota yang menciptakannya? Entahlah, terkadang hukum yang dibuat tak memihak kepada mereka orang-orang kecil melainkan untuk mensejahterakan orang-orang yang memiliki kapital tak dapat dipungkiri inilah kenyataannya;
Sontak aku terkejut dari lamunan ku
“kak, semir sepatu kak?” ujar seorang anak yang menawarkan jasa semir sepatu memusnahkan lamunan ku
“iya, boleh dek” jawab ku terkejut , dengan sigapnya ia menggapai sepatu di kaki tapi kutahan 
“ biar kakak lepas sendiri dek” ujar ku, dengan senyuman ia memandang ku;
Kulihat tangan mungilnyayang begitu lincah menyemir sepatu sepertinya ia sudah terbiasa dengan dengan pekerjaan ini.
“Adek, siapa namanya?” cetus ku memecahkan keheningan diantara kami
“Bagas kak” jawabnya ,
“bagas sekolah kelas berapa?”  tanya ku,
“ aku gak sekolah kak” jawab bagas,
“kenapa bagas gak sekolah?” tanya ku dengan penuh keingin tahuan,
“gak punya biaya kak”  jawabnya,
“bukankah sekolah negeri dari 1 SD sampai 12 SMA digratiskan!”sanggah ku, bagas memandang ku dengan senyuman
“Iya sih kak, tapi buat beli pakaian,tas, baju, dan buku gak ada uang” jawabnya dengan polos,
Kembali kutanyakan pada bagas dengan sopan
 “ kalau kakak boleh tahu orang tua bagas kerja apa?” Entah apa yang terjadi tak ada badai wajah bagas berubah menjadi murung memandang kearah lantai merasa rendah diri
“orang tua ku di surga kak, aku tinggal di tempat nenek” jawabnya sedikit tersendat,
Mendengar jawaban dari bagas hati ku begitu tersayat air mata terasa mengalir menuju kelopak namun masih dapat ku tahan. Lirih ku di dalam hati “ ya, Allah anak sekecil ini harus menanggung beban yang begitu berat, andai hamba berada di posisinya rasanya hamba tak sanggup”
Suasana kembali hening seakan mulut ini tak dapat lagi berkata-kata setelah mendengar jawaban dari bagas, sepuluh menit berlalu bagas akhirnya menyelesaikan semir sepatu ku.
“ini kak sepatunya” ujar bagas sembari menyodorkan sepatu yang telah ia semir. Tanpa berkata-kata langsung kuselipkan sejumlah uang untuk anak yang malang ini, memang tak seberapa besar tapi setidaknya itu bermanfaat baginya hari ini walaupun sekedar untuk makan,
“ terima kasih kak” ujar bagas penuh dengan rasa gembira, kubalas dengan senyuman dan aku pun berlalu menuju kantor.
Inilah kenyataan yang harus ku lihat kehidupan  di kota teramat berat bagi anak sekecil itu teruslah berjuang bagas dan yang lainya kalian adalah anak-anak yang luar biasa teruslah tumbuh meski dalam keadaan formal nampak gagal, teruslah bermimpi jangan pernah putus asa karena Allah  bersama-sama orang yang sabar.

            Kehidupan ini mungkin dapat menyobek kulit dan bahkan mematahkan tulang kalian tapi semua itu tidak membuat kalian gemetar menghadapi dunia ini walaupun bahu mungil kalian tak mampu memikulnya, semoga mereka yang disana dapat melihat keadaan kalian bukan tertidur pulas disaat kalian gelisah karena kelaparan, bukan pula bernyanyi ria di istana disaat kalian menangis, dan bukan pula menutup mata dan telinga.